Selasa, 08 Januari 2008

Tragedi Marubeni Memicu Kemarahan Investor Jepang

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seharusnya tidak tinggal diam menyaksikan ketidakpastian hukum investasi yang dialami oleh investor asing, terutama dari Jepang. Pengalaman pahit yang dialami oleh Marubeni Corporation (selanjutnya disebut Tragedi Marubeni) terbukti telah memicu kemarahan investor Jepang, sekaligus mengerem laju investasi Jepang di Indonesia. Bukan itu saja, Jepang juga mengalihkan tujuan investasinya dari Indonesia.

Data terakhir dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menyebutkan, Indonesia kini hanya menempati urutan ke sembilan dari sepuluh negara tujuan investasi Jepang, padahal sebelumnya berada di posisi kedua atau ketiga. Tercoretnya dari daftar lima besar tujuan investasi Jepang, karena ketidakpastian hukum yang luar biasa besar dan dinilai tidak memiliki sense of speed dalam mengimplementasikan reformasi kebijakan ekonomi.

Tentu saja hal ini menjadi masalah besar bagi ekonomi Indonesia, soalnya pertumbuhan ekonomi tanpa ditopang dengan investasi adalah hal yang mustahil. SBY sebenarnya sudah mengadari hal ini. Oleh sebab itu, Presiden SBY dan Wapres Yusuf Kalla sama-sama sudah berkunjung ke Jepang beberapa kali. Bukan itu saja, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M. Lutfi bahkan memasang iklan di Harian The Asahi Shimbun yang memuat UU Penanaman Modal baru, termasuk soal perlindungan bagi investor asing.

Namun demikian, hingga saat ini hasil yang diharapkan Indonesia nampaknya belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Hal ini pun sebenarnya bisa dimengerti karena akar permasalahan pengalihan tujuan investasi dari Indonesia belum disolusikan sepenuhnya dengan baik oleh pemerintahan SBY. Hingga saat ini, Tragedi Marubeni masih menjadi topik menarik yang menjadi bahan pembicaraan sekaligus kemarahan di kalangan pengusaha Jepang dan birokratnya.

Tragedi Marubeni ini mengundang perhatian investor internasional, karena dianggap menabrak kelaziman bisnis pada umumnya. Menurut media, SGC yang sebelumnya dimiliki oleh Grup Salim (yang terikat perjanjian MSAA) diserahkan kepada pemerintah, yang kemudian dilelang oleh BPPN dan kini dimilliki oleh Gunawan Yusuf melalui PT Garuda Panca Arta (GPA). Soal masalah utang dengan Marubeni, sebenarnya BPPN telah menjelaskan dan mengungkapkan keberadaan utang-utang tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Info Memo, bahkan PT GPA (Gunawan Yusuf) juga telah menandatangani Conditional Share Purchase and Loan Transfer Agreement (29 November 2001). Bukan itu saja, GPA juga memina bantuan agar terjadinya restrukturisasi utang terhadap Marubeni. Pada 12 Maret 2003, GPA juga telah mengajukan penawaran utang kepada Marubeni menjadi 19 juta dolar AS dalam bentuk prommissory note.

Sangat tidak masuk akal jika kemudian Marubeni Corporation yang memberikan utang PT Sweet Indolampung dan PT Indolampung Perkasa dan digunakan perusahaan untuk membangun pabrik gula dan pembelian mesin-mesin pabrik gula, kemudian menjadi pihak yang divonis bersalah. Padahal hingga saat ini pabrik dan mesin-mesin tersebut tetap beroperasi dan menghasilkan keuntungan yang signifikan dan dinikmati oleh pengusaha Gunawan Yusuf (pemilik baru). Sungguh kasihan nasib Marubeni Corporation.

Oleh sebab itu, jika kasus Tragedi Marubeni ini bisa diselesaikan dengan baik oleh Presiden SBY dan aparat-aparatnya, sesuai dengan hukum yang berkeadilan maka bisa dipastikan, kepercayaan investor Jepang dan investor asing lainnya akan pulih. Dengan demikian, Presiden SBY dan Wapres Kalla tidak perlu bolak-balik ke Jepang, apalagi sampai memasang iklan di media asing. Soalnya pemasangan iklan sama saja dengan menghambur-hamburkan uang negara, jika dalam prakteknya tidak efektif sama saja Terima kasih.

Jumat, 04 Januari 2008

Indonesia Hanya Urutan Delapan Tujun Investasi Jepang

[Kompas] - Surrvei terbaru Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menempatkan Indonesia di urutan kedelapan dari daftar negara tujuan investasi Jepang, yang berarti naik satu tingkat dari posisi sebelumnya.

Hal tersebut dikemukakan Koordinator Fungsi Ekonomi KBRI Tokyo M.Abas Ridwan di Tokyo, Jumat (4/1), sehubungan dengan prospek investasi Jepang di luar negeri. "Hasil survei terbaru JBIC ini seperti menjadi kado tahun baru bagi Indonesia di tahun 2008, setelah sebelumnya kita berada di posisi nomor sembilan," kata Abas Ridwan.

Masalah peringkat negara tujuan investasi Jepang itu mengemuka dalam dialog akhir tahun antara tim ekonomi KBRI Tokyo dengan pimpinan JBIC divisi Indonesia di akhir tahun 2007. "Ini cukup menggembirakan, mengingat sikap investor Jepang yang masih ’wait and see’ dalam menanamkan modalnya di Indonesia," katanya lagi.

Dalam pandangannya, kenaikan peringkat ini membuktikan Jepang menaruh kepercayaan terhadap upaya-upaya perbaikan iklim investasi di Indonesia. Meski demikian dia mengakui pebisnis Jepang masih terus mencermati perkembangan terbaru iklim investasi di tanah air.

Lebih jauh ia mengatakan, pemeringkatan ini baru akan betul-betul bermakna jika pengusaha Jepang mulai masuk kembali ke Indonesia untuk berinvestasi. Investasi di Indonesia diharapkan kembali marak di tahun 2008, sejalan dengan prediksi tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen, sehingga masuknya investasi akan mempercepat realisasi pertumbuhan ekonomi tersebut.

Tahun 2008 juga diharapkan menjaid babak baru bagi hubungan bilateral kedua negara, mengingat di tahun ini keduanya 50 tahun hubungan diplomatik, sejak ditandantangani perjanjian pada Januari 1958. "Apalagi ada perjajian ekonomi EPA yang bisa menjadi pintu masuk bagi babakan baru tersebut dan juga hubungan yang lebih luas di tahun-tahun mendatang," katanya.

Sementara itu, Direktur Divisi Bantuan untuk Indonesia JBIC, Satoshi Shigiya kepada Antara mengatakan survei memang dilakukan secara rutin dan hasilnya diumumkan secara terbuka kepada publik melalui internet. "Anda bisa melihat laporan terbaru itu di internet. Survei ini memang bisa menjadi panduan bagi pengusaha Jepang untuk berinvestasi di luar negeri," katanya lagi.

JBIC secara rutin melakukan survei setiap tahun mengenai minat pebisnis Jepang untuk menanamkan modalnya di luar negeri. Survei juga menyoroti kondisi dan situasi investasi di negara-negara yang masuk dalam daftar tujuan investasi tersebut.

Survei rutin

Survei yang diberi judul "Survey Report on Overseas Business Operations by Japanese Manufacturing Companies" melibatkan sekitar seribu perusahaan, dimana lebih dari 60 persen perusahaan merespon survei yang dimulai sejak 1989. Kajian itu mencantumkan prioritas utama yang diharapkan bagi kegiatan bisnis baik di dalam maupun di luar Jepang, termasuk melengkapinya dengan daya saing masing-masing negara dimana perusahaan Jepang itu berada.

Sebelumnya sejak tahun 2007 tim ekonomi KBRI Tokyo melakukan berbagai kegiatan promosi investasi dan eksibisi perdagangan di Tokyo dan berbagai pusat bisnis lainnya di seantero Jepang. Peringkat Indonesia sendiri dalam satu dekade ini memang merosot di mata investor Jepang, meski Negeri Sakura itu tetap menjadi penanam modal terbesar dan mitra dagang utama Indonesia.

Tahun-tahun sebelumnya Indonesia selalu menduduki peringkat nomor dua atau tiga dari negara tujuan investasi Jepang. Namun sejak beberapa tahun belakangan negara-negara tetangga seperti Vietnam, dan Thailand terus menduduki peringkat lebih baik ketimbang Indonesia.

Sejak tahun 1967 hingga 2007 total jumlah investasi Jepang mencapai sebesar 40 miliar dollar AS, dan hubungan perdagangan kedua negara masih memberikan surplus bagi Indonesia sebesar 14.2 miliar dollar AS.

Rabu, 12 Desember 2007

Ditjen Postel Undang Investasi Asing Dalam TIS 2007

[Kapan Lagi] - Dirjen Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika (Postel Depkominfo) mengundang investasi asing dan investasi nasional sektor telekomunikasi dalam penyelenggaraan Telecommunication Infrastructure Summit (TIS) 2007 yang akan digelar, Rabu (12/12), di Jakarta.

"Saya berharap, kita mampu menampilkan daya tarik bagi pihak investor untuk berpartisipasi dalam bentuk penanaman modal atau kerja sama pengembangan dan pembangunan infrastruktur berkesinambungan di bidang telekomunikasi nasional," kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Muhammad Nuh dalam pesan tertulis yang dibacakan oleh Kepala Humas Ditjen Postel, Gatot Dewobroto dalam jumpa pers acara tersebut di Kantor Ditjen Postel di Jakarta, Selasa (11/12).

Seminar yang akan dihadiri oleh 200-300 peserta dari pelaku industri telekomunikasi nasional dan internasional, pejabat pemerintah, swasta, pengamat sampai investor ini bertemakan Indonesia Telecommunication Bussines Review.

Gatot mengatakan, seminar ini merupakan ajang perbandingan dan menjadi momentum strategis bagi sektor telekomunikasi dalam saling me-review kebijakan regulasi dan bisnis telekomunikasi nasional Indonesia dalam situasi yang dinamis ini.

"Seminar ini memungkinkan kalangan dunia usaha sektor telekomunikasi untuk mempresentasikan berbagai persoalan, strategi dan solusi menghadapi tantangan percepatan pembangunan infrastruktur telekomunikasi Indonesia," kata Gatot.

Oleh sebab itu, Ditjen Postel juga melibatkan pihak Kadin sebagai representasi kalangan dunia usaha, untuk turut persiapan dan pelaksanaan acara yang rencananya akan dibuka secara resmi oleh Direktur Telekomunikasi Ditjen Postel, Budi Santoso.

Gatot memperkirakan, banyak hal tentang telekomunikasi yang akan mengemuka dalam acara tersebut, misalnya, tentang tingkat kemajuan dalam mengatasi permasalahan infrastruktur telekomunikasi nasional dan pandangan para pelaku bisnis dan termasuk analis pasar menyikapi perkembangan telekomunikasi nasional.

"Juga mengenai permasalahan signifikan yang dihadapi pemerintah dan kalangan dunia usaha dalam pengembangan infrastruktur telekomunikasi nasional, serta tantangan industri manufaktur domestik dalam menghadapi persaingan global," kata Gatot menjelaskan.

Wakil Ketua Panitia Tetap bidang Telekomunikasi Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Teguh Anantawikrama yang hadir dalam jumpa pers itu mengatakan, pihaknya mengharapkan adanya tanggapan dan pendapat dari kalangan masyarakat mengenai telekomunikasi di Indonesia.

Sementara bagi kalangan industri telekomunikasi, kata Teguh, ajang ini bisa menjadi tempat untuk membahas berbagai masalah telekomunikasi salah satunya mengenai pemakaian 35% kandungan lokal untuk telekomunikasi.

"Kita akan membahas dan menyamakan persepsi mengenai kandungan lokal telekomunikasi, karena ada perbedaan di kalangan pelaku usaha telekomunikasi bagaimana menghitung pemakaian kandungan lokal itu," kata Teguh.

Teguh menambahkan, lewat acara ini, Ditjen Postel dan Kadin berusaha untuk menyamakan langkah-langkah bisnis dari para pelaku usaha bidang telekomunikasi, sehingga dapat menunjang perkembangan industri telekomunikasi Indonesia ke depannya.

Komitmen Investasi Asing 2007 Dekati Tingkat Pra-krisis Moneter

[ANTARA NEWS] - Komitmen investasi asing di Indonesia pada 2007 sudah mencapai 31,33 miliar dolar AS atau sudah hampir mencapai nilai investasi asing sebelum krisis moneter 1997, yakni sekitar 33 miliar dolar AS, kata seorang pejabat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI.

Peningkatan drastis nilai komitmen investasi asing pada 2007 dibanding 2006 yang hanya 8,70 miliar dolar AS itu membuktikan meningkatnya kepercayaan banyak investor asing terhadap Indonesia, kata Wakil Ketua BKPM untuk Promosi Investasi, Darmawan Djajusman, di Melbourne, Jumat.

"Indikasi meningkatnya kepercayaan investor asing kepada Indonesia ini antara lain juga bisa dilihat penguatan indeks Bursa Efek Jakarta," katanya, di depan sekitar 100 orang investor Australia dalam Forum Investasi Festival Indonesia (FI) 2007 di Hotel Sofitel, Melbourne.

Darmawan memaparkan kondisi aktual perekonomian dan dampak positif dari pemberlakuan undang-undang investasi yang baru terhadap daya tarik Indonesia di mata investor.

Ia mengatakan berbagai indikator makro ekonomi Indonesia juga semakin menambah daya tarik. Beberapa indikator tersebut adalah angka pertumbuhan produk domestik bruto yang mencapai sekitar enam persen, cadangan devisa 51,43 miliar dolar AS (hingga 31 Agustus 2007), suku bunga Bank Indonesia sebesar 8,25 persen, inflasi 3,58 persen (Januari-Agustus 2007) dan realisasi investasi yang mencapai 11,70 miliar dolar AS atau naik 123,16 persen (Januari-Agustus 2007), katanya.

"Yang tak kalah penting untuk diingat para investor Australia adalah ada sekitar 18 juta orang kelas menengah di Indonesia ...," katanya.

Peningkatan nilai komitmen investasi di Indonesia itu juga terlihat dalam kecenderungan investasi dalam negeri. Pada periode Januari - Agustus 2007, nilai investasi domestik meningkat sekitar 50,96 persen dari 10,75 miliar dolar AS pada 2006 menjadi 16,23 miliar dolar AS.

Bagi para investor Australia, peluang investasi di Indonesia tidak lagi hanya terbatas pada sektor pertambangan yang selama bertahun-tahun menjadi pilihan utama mereka, tetapi juga di sektor-sektor lain, seperti infrastruktur berupa pelabuhan dan jalan tol, usaha kecil dan menengah, serta perbankan, katanya.

Di bidang pembangunan infrastruktur misalnya, listrik dan jalan tol terbuka bagi para investor asing karena ada kebutuhan listrik sekitar 13.500 Mega Watt serta 38 jalan tol, katanya.

Jadi, jika selama ini para investor asing, termasuk Australia, cenderung melirik daerah-daerah di luar Jawa karena sumberdaya alamnya yang besar, potensi investasi juga masih terbuka di wilayah Jawa, tambahnya.

Menurut Darmawan, peningkatan drastis nilai komitmen investasi asing ke Indonesia pada 2007 ini tidak dapat dilepaskan dari pemberlakuan undang-undang investasi baru dan kebijakan satu pintu (one stop shop policy) dimana BKPM mengumpulkan para wakil dari berbagai kementerian terkait dan Pemda-Pemda di dalam satu atap sehingga pelayanan dan proses perizinan bagi para investor semakin baik dan cepat.

Beberapa ciri undang-undang investasi RI yang baru itu adalah terjaminnya pelayanan yang sama, tidak adanya keharusan modal minimal, adanya jaminan kebebasan membawa keluar investasi dan keuntungan, kepastian hukum, penyelesaian sengketa dan pelayanan investasi yang baik kepada para investor, katanya.

"Dari hak guna tanah pun, saat ini para investor diberikan hak pengolahan tanah selama 95 tahun, hak pembangunan 80 tahun dan hak guna tanah 70 tahun," katanya.

Disamping itu, para investor asing pun kini diberikan insentif fiskal baik berupa pengecualian maupun pengurangan pajak pendapatan untuk sektor-sektor tertentu, kata Darmawan.

Sementara itu, Peter Nevile dari "Nevile & Co.Commercial Lawyers" mengingatkan para investor dan pengusaha Australia agar menurunkan harapan yang terlalu tinggi kepada Indonesia pasca era reformasi yang membawa dampak positif bagi tumbuhnya demokrasi.

Karena, menurut dia, perubahan di negara itu tidak dapat selesai hanya dalam waktu "semalam". "Jadi tolong bantu Indonesia," kata Nevile.


Tingkatkan kemitraan

Sebelumnya, Konsul Jenderal RI di Melbourne, Budiarman Bahar, mengatakan Forum Investasi yang terlaksana atas kerja sama BKPM dengan KJRI Melbourne itu diharapkan dapat meningkatkan kemitraan para pengusaha kedua negara.

Sejauh ini, Indonesia masih merupakan mitra perdagangan ke-13 Australia, dengan nilai perdagangan bilateral mencapai sekitar 10,4 miliar dolar AS, katanya.

Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, TM Hamzah Thayeb, dalam sambutannya pada acara itu menekankan bahwa "Indonesia Baru" yang demokratis terus menggeliat dan berprospek cerah ke depan.

Kemitraan Indonesia dan Australia pun semakin menguat di berbagai bidang, ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kemitraan komprehensif dan Perjanjian Lombok yang mencakup beragam sektor, katanya.

Festival Indonesia (FI) 2007 yang diselenggarakan untuk yang ketiga kalinya pada 9-11 November ini juga diisi dengan pameran dagang, 'Malam Sulawesi', dan bazar makanan Indonesia.

Dalam festival yang berlangsung di kawasan Waterfront City Dockland, Melbourne, itu para delegasi dari sejumlah Pemda kabupaten dan provinsi di Indonesia ikut memeriahkan acara budaya dan perdagangan.

Mereka itu berasal dari Pemda Kabupaten Sleman, Dekranasda Provinsi Bali, Pemprov Sumbar, Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Utara, Pemda Jawa Barat, DKI Jakarta, Pemda Kalimantan Tengah, dan Pemprov Gorontalo.

Selain itu delegasi Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi, Pemprov Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.

Disamping pertunjukan seni budaya Nusantara, festival yang diharapkan pihak KJRI Melbourne dihadiri sedikitnya 30 ribu orang itu juga menampilkan lokakarya pembuatan Batik Sleman dan tarian Nusantara.

Festival yang penyelenggaraannya melibatkan sekitar 200 orang mahasiswa Indonesia di Melbourne dan pembiayaannya antara lain didukung oleh Bank Indonesia, BNI, Bank Mandiri, BRI, BHP dan Garuda Indonesia itu juga menghadirkan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Muliaman Hadad. (*)

Rabu, 05 Desember 2007

Investasi Asing dan Lokal Naik

[TEMPO INTERAKTIF] - Kepala Badan kordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi menyatakan pembiayaan penanaman modal asing (PMA) dan dalam negeri (PMDN) naik dua kali lipat. Dibandingkan realisasi investasi Januari-Oktober tahun lalu, tahun ini tumbuh tumbuh 92 persen. "PMA tumbuh 176 persen dan PMDN tumbuh sekitar 22 persen," ujarnya, Rabu (5/12).

Dia mengatakan, yang melambat justru tumbuhnya belanja pemerintah. Berdasarkan data Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik belanja pemerintah tidak bisa tumbuh diatas 12 persen.

Jumat, 09 November 2007

Komitmen Investasi Asing Mencapai 31,33 Miliar Dollar AS

[Jaknews] - Komitmen investasi asing di Indonesia pada 2007 sudah mencapai 31,33 miliar dollar AS atau sudah hampir mencapai nilai investasi asing sebelum krisis moneter 1997 yakni sekitar 33 miliar dollar AS. "Peningkatan drastis nilai komitmen investasi asing pada 2007 dibanding 2006 yang hanya 8,70 miliar dollar AS itu membuktikan meningkatnya kepercayaan banyak investor asing terhadap Indonesia," kata Wakil Ketua BKPM untuk Promosi Investasi, Darmawan Djajusman, di Melbourne, Jumat (9/11).


"Indikasi meningkatnya kepercayaan investor asing kepada Indonesia ini antara lain juga bisa dilihat penguatan indeks Bursa Efek Jakarta," ungkapnya di depan sekitar 100 orang investor Australia dalam Forum Investasi Festival Indonesia (FI) 2007 di Hotel Sofitel Melbourne.

Darmawan memaparkan kondisi aktual perekonomian dan dampak positif dari pemberlakuan undang-undang investasi yang baru terhadap daya tarik Indonesia di mata investor.

Ia mengatakan, berbagai indikator makro ekonomi Indonesia juga semakin menambah daya tarik. Beberapa indikator tersebut adalah angka pertumbuhan produk domestik bruto yang mencapai sekitar enam persen, cadangan devisa 51,43 miliar dollar AS (hingga 31 Agustus 2007), suku bunga Bank Indonesia sebesar 8,25 persen, inflasi 3,58 persen (Januari-Agustus 2007) dan realisasi investasi yang mencapai 11,70 miliar dollar AS atau naik 123,16 persen (Januari-Agustus 2007). "Yang tak kalah penting untuk diingat para investor Australia adalah ada sekitar 18 juta orang kelas menengah di Indonesia," katanya.

Peningkatan nilai komitmen investasi di Indonesia itu juga terlihat dalam kecenderungan investasi dalam negeri. Pada periode Januari-Agustus 2007, nilai investasi domestik meningkat sekitar 50,96 persen dari 10,75 miliar dollar AS pada 2006 menjadi 16,23 miliar dollar AS.

Bagi para investor Australia, peluang investasi di Indonesia tidak lagi hanya terbatas pada sektor pertambangan yang selama bertahun-tahun menjadi pilihan utama mereka, tetapi juga di sektor-sektor lain seperti infrastruktur seperti pelabuhan dan jalan tol, usaha kecil dan menengah, serta perbankan. "Di bidang pembangunan infrastruktur misalnya, listrik dan jalan tol terbuka bagi para investor asing karena ada kebutuhan listrik sekitar 13.500 megawatt serta 38 jalan tol," ungkapnya.

Jadi, jika selama ini para investor asing, termasuk Australia, cenderung melirik daerah-daerah di luar Jawa karena sumber daya alamnya yang besar, potensi investasi juga masih terbuka di wilayah Jawa.

Menurut Darmawan, peningkatan drastis nilai komitmen investasi asing ke Indonesia pada 2007 ini tidak dapat dilepaskan dari pemberlakuan undang-undang investasi baru dan kebijakan satu pintu (one stop shop policy) dimana BKPM mengumpulkan para wakil dari berbagai kementerian terkait dan Pemda-Pemda di dalam satu atap sehingga pelayanan dan proses perizinan bagi para investor semakin baik dan cepat.

Minggu, 28 Oktober 2007

Rela Malaysia Bisa Jadi Sebuah Departemen

[Antara News] - Menteri Dalam Negeri Malaysia Mohd Radzi Sheikh Ahmad mengatakan bukan mustahil pasukan sukarelawan (Rela) yang mempunyai hampir setengah juta anggota itu statusnya ditingkatkan menjadi suatu departemen setelah 36 tahun mengabdi.

"Usulan itu telah dibuat untuk mewujudkan Rela sebagai suatu departemen tetapi masih tahap kajian awal dan hal itu tergantung kepada keputusan kerajaan Malaysia," kata Menteri itu dalam satu pertemuan dengan Bernama, Minggu. Kajian sedang dilakukan dan butuh waktu yang agak lama karena kerajaan tidak mau tergesa-gesa membuat keputusan tersebut.

Peranan Rela telah diakui masyarakat apalagi dengan upaya memberantas pendatang asing dan membantu masalah-masalah lain, termasuk bantuan darurat dan keamanan, katanya. Berdasarkan informasi kantor pusat Rela, setelah menerima wewenang memeriksa dan menahan pendatang tanpa izin pada 1 Febuari 2005, Rela telah menahan 8,244 orang pada 2005, 25,045 orang pada 2006 dan 24,770 orang sepanjang delapan bulan pertama tahun ini.

Mohd Razdi berpuas hati dengan peranan yang dimainkan anggota Rela karena tidak hanya telah berkorban waktu dan tenaga, tetapi juga uang untuk membeli pakaian seragam karena kerajaan hanya menyediakan pakaian seragam untuk 30.000 anggota saja.

Kementerian Dalam Negeri akan membentuk pasukan elit Rela yang akan menjadi barisan terdepan dalam menangani kasus-kasus tertentu. "Setiap anggota elit itu mempunyai kemampuan menguasai bahasa asing dan keahlian tertentu," katanya dan pasukan elit akan dimulai dari Kuala Lumpur. Disebutkan, anggota pasukan elit tidak harus profesional tetapi harus punya ketrampilan karena mereka tidak akan diberikan gaji.

Rela yang didirikan pada 11 Januari 1972 kini mempunyai 488.832 anggota di seluruh negara dan mayoritas anggotanya laki-laki. (Minggu : 28/10/2007)