Selasa, 08 Januari 2008

Tragedi Marubeni Memicu Kemarahan Investor Jepang

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seharusnya tidak tinggal diam menyaksikan ketidakpastian hukum investasi yang dialami oleh investor asing, terutama dari Jepang. Pengalaman pahit yang dialami oleh Marubeni Corporation (selanjutnya disebut Tragedi Marubeni) terbukti telah memicu kemarahan investor Jepang, sekaligus mengerem laju investasi Jepang di Indonesia. Bukan itu saja, Jepang juga mengalihkan tujuan investasinya dari Indonesia.

Data terakhir dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menyebutkan, Indonesia kini hanya menempati urutan ke sembilan dari sepuluh negara tujuan investasi Jepang, padahal sebelumnya berada di posisi kedua atau ketiga. Tercoretnya dari daftar lima besar tujuan investasi Jepang, karena ketidakpastian hukum yang luar biasa besar dan dinilai tidak memiliki sense of speed dalam mengimplementasikan reformasi kebijakan ekonomi.

Tentu saja hal ini menjadi masalah besar bagi ekonomi Indonesia, soalnya pertumbuhan ekonomi tanpa ditopang dengan investasi adalah hal yang mustahil. SBY sebenarnya sudah mengadari hal ini. Oleh sebab itu, Presiden SBY dan Wapres Yusuf Kalla sama-sama sudah berkunjung ke Jepang beberapa kali. Bukan itu saja, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M. Lutfi bahkan memasang iklan di Harian The Asahi Shimbun yang memuat UU Penanaman Modal baru, termasuk soal perlindungan bagi investor asing.

Namun demikian, hingga saat ini hasil yang diharapkan Indonesia nampaknya belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Hal ini pun sebenarnya bisa dimengerti karena akar permasalahan pengalihan tujuan investasi dari Indonesia belum disolusikan sepenuhnya dengan baik oleh pemerintahan SBY. Hingga saat ini, Tragedi Marubeni masih menjadi topik menarik yang menjadi bahan pembicaraan sekaligus kemarahan di kalangan pengusaha Jepang dan birokratnya.

Tragedi Marubeni ini mengundang perhatian investor internasional, karena dianggap menabrak kelaziman bisnis pada umumnya. Menurut media, SGC yang sebelumnya dimiliki oleh Grup Salim (yang terikat perjanjian MSAA) diserahkan kepada pemerintah, yang kemudian dilelang oleh BPPN dan kini dimilliki oleh Gunawan Yusuf melalui PT Garuda Panca Arta (GPA). Soal masalah utang dengan Marubeni, sebenarnya BPPN telah menjelaskan dan mengungkapkan keberadaan utang-utang tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Info Memo, bahkan PT GPA (Gunawan Yusuf) juga telah menandatangani Conditional Share Purchase and Loan Transfer Agreement (29 November 2001). Bukan itu saja, GPA juga memina bantuan agar terjadinya restrukturisasi utang terhadap Marubeni. Pada 12 Maret 2003, GPA juga telah mengajukan penawaran utang kepada Marubeni menjadi 19 juta dolar AS dalam bentuk prommissory note.

Sangat tidak masuk akal jika kemudian Marubeni Corporation yang memberikan utang PT Sweet Indolampung dan PT Indolampung Perkasa dan digunakan perusahaan untuk membangun pabrik gula dan pembelian mesin-mesin pabrik gula, kemudian menjadi pihak yang divonis bersalah. Padahal hingga saat ini pabrik dan mesin-mesin tersebut tetap beroperasi dan menghasilkan keuntungan yang signifikan dan dinikmati oleh pengusaha Gunawan Yusuf (pemilik baru). Sungguh kasihan nasib Marubeni Corporation.

Oleh sebab itu, jika kasus Tragedi Marubeni ini bisa diselesaikan dengan baik oleh Presiden SBY dan aparat-aparatnya, sesuai dengan hukum yang berkeadilan maka bisa dipastikan, kepercayaan investor Jepang dan investor asing lainnya akan pulih. Dengan demikian, Presiden SBY dan Wapres Kalla tidak perlu bolak-balik ke Jepang, apalagi sampai memasang iklan di media asing. Soalnya pemasangan iklan sama saja dengan menghambur-hamburkan uang negara, jika dalam prakteknya tidak efektif sama saja Terima kasih.

Tidak ada komentar: